Faktanusa.com, Samarinda – Di tengah geliat pembangunan Kota Samarinda, sebuah sengketa tanah yang mencuat di kawasan Jalan Damanhuri II, RT 29, Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, memunculkan polemik antara aspek hukum, sejarah kepemilikan, dan sensitivitas keagamaan.
Sengketa ini melibatkan Hairil Usman, warga yang mengklaim sebagai ahli waris sah atas tanah yang kini ditempati oleh Keuskupan Agung Samarinda. Tanah seluas 20 x 30 meter itu, menurut Hairil, dibeli oleh Dony Saridin dari almarhum ayahnya, Djagung Hanafiah, pada 1988. Namun, transaksi itu disebut Hairil belum sepenuhnya dilunasi.
Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika Margareta, istri Dony Saridin, membuat Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas tanah tersebut dengan luas berbeda, yakni 75 x 73 meter. Tak lama berselang, tanah itu dihibahkan kepada Keuskupan Agung Samarinda. Hingga kini, di atas lahan tersebut telah berdiri bangunan yang digunakan untuk aktivitas keagamaan.
Merespons laporan dari Hairil Usman, Komisi I DPRD Kalimantan Timur menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa, 10 Juni 2025. Rapat yang berlangsung di Gedung E DPRD Kaltim itu dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I, Agus Suwandy, dan dihadiri oleh sejumlah anggota legislatif, aparat kelurahan, camat setempat, perwakilan BPN, serta pelapor beserta kuasa hukumnya. Namun, Keuskupan Agung Samarinda selaku pihak terlapor absen dalam pertemuan tersebut.
Agus Suwandy menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana. Ia mengingatkan bahwa keberadaan rumah ibadah di atas lahan sengketa menambah sensitivitas persoalan.
“Jangan sampai sengketa ini berkembang menjadi isu yang lebih besar dan memecah belah masyarakat. Kami tekankan pentingnya pendekatan persuasif, musyawarah, dan mediasi,” ujar Agus dalam pernyataannya.
Dalam RDP tersebut, DPRD juga meminta klarifikasi dari BPN terkait keabsahan dokumen yang dimiliki oleh kedua pihak. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah ketidaksesuaian antara objek fisik lahan dengan dokumen administratif yang beredar.
“Kita tidak ingin ada manipulasi data. Jangan sampai surat kepemilikan mengklaim satu lokasi, tetapi lahan fisiknya berada di tempat lain. Ini akan kami telusuri secara hukum dan administratif,” tegas Agus.
Yang menambah kerentanan kasus ini adalah latar belakang keyakinan yang berbeda antara para pihak. Hairil Usman diketahui beragama Islam, sementara tanah yang disengketakan kini digunakan untuk kegiatan gereja Katolik. Namun, DPRD menegaskan bahwa masalah ini murni persoalan hukum, dan tidak boleh diarahkan pada sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
“Ini murni soal kepemilikan dan keabsahan dokumen. Kami tidak akan membiarkan isu ini dibelokkan menjadi konflik antarumat beragama. Justru perbedaan ini harus menjadi alasan untuk lebih bijaksana dalam menyelesaikannya,” ujar Agus Suwandy.
Pihak DPRD pun mengingatkan bahwa perbedaan keyakinan tidak boleh menjadi hambatan dalam mencari keadilan, apalagi jika sampai memicu perpecahan sosial. Oleh karena itu, lembaga legislatif ini mengambil sikap netral dan berkomitmen untuk menjadi mediator yang adil bagi kedua belah pihak.
Sebagai tindak lanjut, Komisi I DPRD Kaltim akan menjadwalkan RDP lanjutan pada Selasa, 17 Juni 2025. Dalam rapat tersebut, Keuskupan Agung Samarinda akan kembali dipanggil secara resmi. Diharapkan, pihak Keuskupan dapat memberikan penjelasan menyeluruh terkait dasar hukum dan riwayat dokumen kepemilikan lahan.
Komisi juga meminta camat dan lurah untuk menelusuri kembali arsip dokumen tanah, termasuk apakah pernah terjadi pemekaran atau perubahan administratif yang berpengaruh terhadap status lahan tersebut.
“Jika ada niat baik dari kedua belah pihak, saya yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa harus berujung di pengadilan. Tapi bila perlu, jalur hukum adalah opsi terakhir yang bisa ditempuh,” ujar salah satu anggota Komisi I, Yusuf Mustafa.
Sengketa ini bukan hanya soal siapa yang berhak atas tanah, tetapi juga tentang bagaimana hukum dan kebijakan publik menyikapi masalah yang melibatkan aspek sosial dan keagamaan. Di tengah keberagaman Samarinda, kasus ini menjadi ujian sejauh mana masyarakat dan pemangku kepentingan dapat menyelesaikan konflik secara damai.
DPRD Kaltim, melalui Komisi I, menyatakan komitmennya untuk terus mengawal proses ini secara objektif dan adil, tanpa memihak dan tanpa membiarkan persoalan ini ditunggangi kepentingan lain.
Hingga kini, jalan menuju titik temu masih panjang. Namun, harapan tetap terbuka selama ada ruang untuk dialog, itikad baik, dan penghormatan terhadap hukum serta hak dasar semua pihak. (ADv/**)