Faktanusa.com, Samarinda – Di tengah transformasi besar-besaran Kalimantan Timur menjadi pusat pemerintahan baru melalui pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, perhatian terhadap infrastruktur penunjang logistik kian meningkat. Salah satu titik fokus adalah peran PT Kaltim Kariangau Terminal (KKT), terminal peti kemas yang diharapkan menjadi simpul logistik strategis wilayah tersebut.
Namun, harapan itu dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan kondisi di lapangan. Komisi II DPRD Kalimantan Timur menyoroti sejumlah kendala mendasar, mulai dari infrastruktur jalan akses yang rusak hingga isu pemberdayaan tenaga kerja lokal yang belum optimal.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Firnadi Ikhsan, dalam keterangannya pada Jumat (20/6/2025), menegaskan pentingnya mendukung pertumbuhan KKT dengan infrastruktur yang memadai. Ia menyebut bahwa KKT merupakan buah kerja sama antara Perusahaan Daerah Melati Bhakti Satya (MBS) dan PT Pelindo, dengan kontribusi dari kedua belah pihak dalam bentuk aset, lahan, dan modal.
“Kalau dilihat dari tren, pertumbuhan KKT sudah bagus. Tapi kalau tidak didukung dengan infrastruktur seperti gudang yang memadai dan jalan penghubung yang layak, maka potensi KKT tidak akan maksimal,” ujar Firnadi.
Salah satu keluhan utama yang terus muncul dari para pelaku usaha dan pengguna jasa adalah kondisi jalan penghubung menuju terminal. Menurut Firnadi, jalan yang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat itu kini dalam kondisi rusak parah dan menjadi hambatan utama distribusi logistik.
“Ini bukan masalah baru. Konsumen KKT banyak yang mengeluh. Jalan rusak menghambat distribusi dan menambah biaya logistik. Makanya kami dari Komisi II siap membantu fasilitasi koordinasi dengan Balai Jalan Nasional,” ujarnya.
Kerusakan jalan ini tidak hanya berdampak pada kelancaran distribusi barang, tetapi juga berpotensi menurunkan daya saing KKT sebagai terminal logistik andalan, apalagi dalam konteks mendukung IKN yang menuntut efisiensi tinggi dalam sistem distribusi nasional.
Selain infrastruktur, isu tenaga kerja juga menjadi perhatian serius Komisi II. Firnadi menekankan bahwa pengoperasian KKT tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan perusahaan, tetapi harus berdampak sosial secara nyata, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Prinsipnya bukan hanya asal merekrut, tapi bagaimana tenaga kerja lokal diberi ruang tumbuh lewat transfer teknologi dan pelatihan. Ini penting agar keberadaan KKT benar-benar memberikan dampak jangka panjang,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar proses rekrutmen dilakukan secara terbuka dan adil, sehingga masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri.
PT KKT sejauh ini telah berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui skema bagi hasil dengan Pelindo dan Perusda MBS. Meski demikian, DPRD meminta agar pengelolaan perusahaan ini dilakukan secara lebih transparan dan akuntabel, terutama terkait pemanfaatan aset daerah dan proyeksi bisnis jangka panjang.
“Kita ingin pengelolaan yang tidak hanya menguntungkan perusahaan, tapi juga jelas kontribusinya bagi ekonomi daerah. Harus ada transparansi soal ekspansi dan perencanaan jangka panjang,” tambah Firnadi.
Dengan posisinya yang strategis dan kemitraan antara BUMD dan BUMN, PT KKT memiliki potensi besar menjadi tulang punggung logistik kawasan, apalagi dalam menghadapi lonjakan aktivitas ekonomi seiring pembangunan IKN. Namun, tanpa pembenahan serius pada aspek infrastruktur dan sumber daya manusia, potensi itu dikhawatirkan tidak bisa dioptimalkan.
DPRD berharap PT KKT dapat menjadi model pengelolaan pelabuhan yang inklusif dan berkelanjutan—tidak hanya sebagai simpul distribusi nasional, tetapi juga sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi lokal.
“Dengan sinergi antarinstansi dan pembenahan menyeluruh, KKT bisa menjadi pelabuhan masa depan yang bukan hanya modern tapi juga memberdayakan,” tutup Firnadi. (Adv/**)