Faktanusa.com, Kutim – Proyek Rice Processing Unit (RPU) di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang awalnya diharapkan menjadi tonggak kemandirian pangan lokal, kini berada dalam sorotan tajam. Harapan masyarakat terhadap proyek penggilingan padi modern ini berubah menjadi pertanyaan besar, setelah penyidik Kepolisian Daerah Kalimantan Timur menemukan dugaan kejanggalan dalam mekanisme penganggaran proyek senilai Rp40,1 miliar tersebut.
Penyelidikan yang dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kaltim ini tidak main-main. Berbagai pihak dipanggil untuk dimintai keterangan, termasuk seluruh unsur Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kutim periode sebelumnya. Fokus penyelidikan adalah lonjakan anggaran yang signifikan—nyaris Rp10 miliar—dari yang sebelumnya direncanakan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah-Perubahan (RKPD-P) sebesar Rp31,2 miliar, menjadi Rp40,1 miliar dalam dokumen Kebijakan Umum Perubahan Anggaran-Perubahan (KUPA-P).
Dari total anggaran, yang paling mencolok adalah alokasi sebesar Rp24,9 miliar hanya untuk pengadaan mesin penggilingan padi. Nilai yang besar ini menjadi salah satu pemicu utama penyelidikan lebih dalam. Dalam sebuah proyek yang digadang-gadang bisa membawa dampak langsung bagi para petani lokal, efisiensi dan transparansi anggaran menjadi hal krusial. Namun kini, niat baik itu terancam tercoreng.
Sekretaris Daerah Kutim, Rizali Hadi, membenarkan bahwa seluruh anggota TAPD telah dipanggil oleh penyidik. Ia menegaskan bahwa proses anggaran telah dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing perangkat daerah.
“Kita di TAPD bukan hanya sekda dan BPKAD, termasuk Bapenda dan Bappeda juga terlibat. Semua Banggar DPRD periode lalu juga dipanggil. Semua dimintai keterangan,” ujarnya saat dikonfirmasi, Selasa (2/9/2025).
Rizali menyayangkan narasi pemberitaan yang menurutnya hanya menyasar dirinya dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), seolah-olah mereka berdua adalah pihak utama yang bertanggung jawab dalam kasus ini.
Hal serupa disampaikan Kepala BPKAD Kutim, Ade Achmad Yulkafilah. Ia menyebut sejumlah pemberitaan hanya menampilkan foto dirinya dan Sekda dalam konteks kasus ini, tanpa menyoroti pihak lain yang juga telah diperiksa.
“Padahal semua TAPD sudah diperiksa. Tapi yang muncul di media hanya saya dan Pak Sekda. Proses penganggaran dilakukan sesuai prosedur dan tupoksi. Yang perlu dipertanyakan justru siapa yang bertanggung jawab atas lonjakan anggaran, kenapa tidak dimunculkan?” tegas Ade.
Menurutnya, pengambilan keputusan dalam struktur pemerintahan daerah tidaklah dilakukan secara individu, melainkan kolektif melalui berbagai tahapan pembahasan dan pengesahan, termasuk di legislatif.
Penyelidikan proyek ini dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP Sidik/S-1.1/151/VI/RES.3.3./2025/Ditreskrimsus. Penyidik tengah mendalami berbagai dokumen penganggaran, mekanisme perubahan anggaran, serta proses pengadaan yang dilakukan. Mereka juga berusaha mengungkap siapa saja pihak yang memiliki peran strategis dalam pengambilan keputusan yang menyebabkan perubahan angka anggaran secara drastis.
Proyek RPU Kutim awalnya dibangun dengan tujuan strategis: meningkatkan kapasitas produksi beras lokal dan menekan ketergantungan terhadap pasokan dari luar daerah. Di atas kertas, proyek ini menawarkan masa depan yang cerah bagi para petani dan ketahanan pangan daerah. Namun kenyataan di lapangan belum sejalan dengan ekspektasi masyarakat.
“Ini bukan hanya soal proyek atau mesin penggilingan. Ini soal kepercayaan publik. Kami tidak ingin proyek ini menjadi simbol kosong tanpa hasil nyata,” ujar seorang petani di Kecamatan Rantau Pulung yang enggan disebut namanya.
Sekretaris Daerah Rizali Hadi menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh proses hukum yang sedang berjalan. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, kata dia, telah menyerahkan seluruh dokumen dan informasi yang dibutuhkan penyidik.
“Kami tidak menutup-nutupi. Semua prosedur sudah kami ikuti sesuai aturan. Tinggal kita percayakan kepada penyidik untuk menilai dan menyimpulkan. Yang penting, publik tahu bahwa kami kooperatif,” tegasnya.
Kasus RPU Kutai Timur menjadi potret penting bagaimana proyek besar yang bertujuan mulia bisa tergelincir jika tata kelola dan transparansi tidak dijaga. Di saat publik membutuhkan solusi konkret untuk meningkatkan kesejahteraan petani, akuntabilitas menjadi syarat mutlak.
Masyarakat Kutim kini menunggu bukan hanya hasil penyidikan, tetapi juga kejelasan masa depan proyek yang semestinya menjadi harapan baru bagi sektor pertanian daerah. (Adv/Shin/**)