
Faktanusa.com, Balikpapan – Puluhan anggota Laskar Mandau Adat Kalimantan Bersatu (LMAKB) mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Balikpapan di Jalan Jenderal Sudirman, pada Senin (8/12/2025). Mereka datang untuk mendampingi NH, penyandang disabilitas yang menjadi korban pelecehan seksual, sekaligus menyampaikan keberatan atas proses hukum yang dinilai tidak transparan, tidak komunikatif, dan sangat merugikan korban serta keluarganya. Aksi ini juga merupakan bentuk protes terhadap keputusan jaksa yang tidak mengajukan banding atas putusan pengadilan terhadap pelaku.
Ketua DPD LMAKB Balikpapan, Ahmad Betawi, mengatakan bahwa kedatangan pihaknya bukan untuk membuat keributan, melainkan untuk mencari keadilan bagi korban. Ia menegaskan bahwa proses hukum yang berjalan sejak April hingga Agustus 2025 menyisakan banyak kejanggalan dan ketidakjelasan.
“Kami datang sebagai pendamping masyarakat yang selama ini kesulitan mencari keadilan. Ananda NH adalah penyandang disabilitas, korban kejahatan berat, tapi keluarga justru dibiarkan tanpa informasi. Ini bukan perkara yang bisa dianggap ringan. Kami meminta agar kasus ini ditinjau ulang, karena vonis dua tahun untuk kejahatan seperti ini tidak masuk akal,” tegasnya.
Menurut Ahmad, ancaman hukuman dalam Undang-Undang Perlindungan Anak mencapai 12 tahun 6 bulan. Namun jaksa hanya menuntut pelaku 2 tahun 6 bulan, dan majelis hakim kemudian menjatuhkan putusan 2 tahun.
“Ini sangat jauh dari rasa keadilan. Kami sebagai warga Balikpapan kecewa. Bagaimana mungkin kejahatan terhadap penyandang disabilitas, di tempat ibadah pula, hanya dihukum dua tahun? Ada apa dengan penegakan hukum kita?” ujarnya dengan nada kesal.
Ahmad juga menilai ada kelemahan koordinasi antara UPT dan aparat penegak hukum dalam memberikan informasi kepada keluarga korban. “Warga kecil tidak mengerti proses hukum yang berbelit-belit. Peran negara adalah melindungi dan mendampingi, bukan membuat mereka tambah bingung. Informasi harusnya disampaikan secara berkala, bukan dibiarkan menggantung,” tambahnya.
Dari Bidang Hukum dan HAM LMAKB, Absal, turut memberikan pernyataan keras mengenai tuntutan jaksa yang dinilai tidak mencerminkan keadilan bagi korban.
“Undang-undang jelas mengatur ancaman 12 tahun. Bagaimana bisa jaksa hanya menuntut 2 tahun 6 bulan? Alasannya karena pelaku sudah tua. Usia tidak bisa menjadi alasan meringankan hukuman untuk kejahatan seperti ini. Jangan ada toleransi terhadap kejahatan seksual, khususnya kepada anak dan penyandang disabilitas,” tegasnya.
Ia kemudian menyinggung kinerja UPT PPA yang menurutnya tidak melakukan pendampingan maksimal. “Pendampingan hanya dilakukan sekali. Setelah itu kami tidak melihat ada upaya serius membantu korban. Padahal dalam kasus sensitif seperti ini, pendampingan wajib dilakukan dari awal hingga akhir, termasuk dalam proses persidangan,” tuturnya.
Absal mengatakan keputusan jaksa untuk tidak mengajukan banding semakin memperkuat dugaan bahwa proses hukum berjalan tidak sesuai standar.
“Kami sangat kecewa. Jaksa seharusnya membela kepentingan korban. Ketika putusan jauh lebih rendah dari ancaman maksimal, banding wajib diajukan. Tapi ini tidak dilakukan. Kami menduga ada sesuatu yang janggal,” ujarnya.
Ia menegaskan LMAKB siap menempuh langkah hukum lanjutan. “Kami akan bantu keluarga mempertimbangkan banding atau bahkan peninjauan kembali (PK). Kami tidak akan tinggal diam sampai ada keadilan,” katanya.
Ahmad Betawi kembali menegaskan bahwa LMAKB akan terus mengawal kasus ini. Ia mengatakan organisasi mereka dibentuk untuk menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan sekadar wadah kumpul massa.
“Kami tidak akan diam melihat penyandang disabilitas diperlakukan seperti ini. Kejaksaan adalah benteng terakhir pencarian keadilan. Jika benteng itu rapuh, masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Kami hadir untuk mengingatkan bahwa rakyat selalu melihat, selalu mengawasi, dan tidak akan mundur,” katanya.
Ia bahkan secara terbuka menyampaikan kekhawatiran bahwa ada ketidakwajaran dalam proses hukum. “Jika ada oknum yang bermain, kami minta Kejari Balikpapan melakukan evaluasi internal. Kami berharap institusi hukum bersih dan berani mengambil langkah. Jangan sampai kasus seperti ini menambah daftar kelam penegakan hukum di negeri ini,” ujarnya.
Ahmad menegaskan bahwa aksi mereka bukan semata-mata momentum, namun bertepatan dengan Hari Disabilitas Sedunia, momen yang menurutnya sangat relevan.
“Ini pengingat bagi kita semua bahwa keadilan bagi penyandang disabilitas harus diperjuangkan lebih keras. Mereka rentan, mereka butuh perlindungan negara. Putusan dua tahun tidak mencerminkan keberpihakan kepada korban,” tambahnya.
Sementara itu, kakak korban, Ina, mengungkapkan kronologi lengkap kejadiannya. Ia mengatakan peristiwa pencabulan terjadi pada 8 April 2025 di salah satu masjid di kawasan Karang Jati, Balikpapan Tengah. Namun keluarga baru mengetahui lima hari kemudian setelah mendapat kabar dari seseorang yang mengetahui kejadian itu.
“Saya langsung melapor ke PPA pada hari itu juga. Pelaku ditangkap pada 14 April setelah hasil visum keluar. Selaput dara adik saya dinyatakan robek. Ia dirawat 15 hari di RS Kanujoso dan diperiksa oleh beberapa dokter forensik,” jelasnya.
Menurut Ina, proses persidangan berlangsung panjang dan melelahkan. Namun ironisnya, keluarga tidak pernah diberi informasi resmi mengenai jadwal persidangan maupun perkembangan kasus.
“Saya hanya sekali dipanggil untuk menghadiri sidang. Setelah itu tidak ada kabar. Putusan akhirnya saya tahu dari orang dalam rutan, bukan dari jaksa atau pengadilan. Karena tidak diberi tahu, kami kehilangan kesempatan untuk mempertimbangkan banding atau menunjuk pengacara,” ungkapnya.
Ia berharap Kejari Balikpapan mampu membuka kembali komunikasi dengan keluarga dan memberikan ruang bagi mereka untuk mencari keadilan.
Reporter : Rasman
![]()



