Oleh bung Yosep Wahyudi Sitanggang Ketua DPC GMNI Kota Balikpapan.
Belum hilang dari ingatan kita tentang tindakan rasial di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu. Yang berujung pada aksi besar-besaran di beberapa daerah di Papua. Di antaranya, Manokwari, Jayapura, Timika, Sorong, Fak-Fak dan lain-lain, pada 19 Agustus 2019 lalu. Sesungguhnya, itu adalah sebuah bentuk ketidakmampuan negara dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bersendikan nasionalisme.
Negara kali ini sangat gagal menjaga hak asasi manusia saat berdemonstrasi. Bagaimana tidak, ditangkapnya para demonstran adalah sebuah bentuk nyata dari kegagalan itu.
Mereka yang ditangkap, tujuh di antaranya Hengky Hilapok, Alexander gobay, Steven Italy, Butkar Tambuni, Irwanus Uropmabin, Ferry Kombo, Agus Kossay.
Ketujuhnya, kini berada di Balikpapan. Mereka diasingkan ke Balikpapan, setelah ditangkap usai aksi. Mereka dipenjara. Jauh dari keluarga. Ibarat tahanan politik di zaman penjajahan sebelum Indonesia merdeka. Diasingkan dari keluarga dan tempat beraktivitasnya saat itu.
Ya, mereka ditangkap dan ditahan Dengan tuduhan dugaan kasus makar. Padahal, aksi di Papua tidak bisa begitu saja di artikan sebagai kasus makar. Perlu ada tarikan sebab dan akibat. Pertanyaan mendasarnya, mengapa aksi demonstrasi di Papua terjadi? Hingga berujung kericuhan dan bentrok? Kita perlu melihat rentetan peristiwa yang terjadi.
Kamis (15/8/2019), terjadi bentrokan antara sekelompok warga Malang dengan mahasiswa asal Papua, di kawasan Rajabali, Kota Malang, Jawa Timur.
Berdasarkan laporan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Malang, para mahasiswa asal Papua tersebut dalam perjalanan dari Stadion Gajayana menuju Balai Kota Malang untuk menyampaikan aspirasinya.
Mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu akan melakukan aksi damai di Balai Kota Malang, mengecam penandatanganan New York Agreement antar pemerintah Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962.
Sekitar pukul 08.55 WIB, mereka tiba di simpang empat Rajabali dan bertemu sekelompok warga Malang. Kemudian terjadi perselisihan atau adu mulut, yang berujung terjadinya bentrokan. Bentrokan antara kedua kelompok itu semakin memanas. Puncaknya, kurang lebih pada pukul 09.20 WIB, kedua kelompok saling melempar batu.
Aksi Rasisme di Surabaya
Pada Jumat (16/8/2019), secara tiba-tiba sekitar 15 anggota yang berasal dari TNI mendatangi asrama Papua yang ada di Surabaya. Tanpa permisi mereka menggedor gerbang asrama. Hal itu membuat kaget 15 mahasiswa yang berada di dalam asrama.
Juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua, Dorlince Lyowau, mengatakan sekitar pukul 15.20 WIB TNI mendobrak pintu disertai ujaran rasis dan kebencian.
Sikap arogan TNI tersebut, menurut Dorli, ditenggarai oleh bendera merah putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan asrama mereka tiba-tiba sudah berada di dalam saluran air. Sementara Dorli mengaku, ia dan kawan-kawannya tak tahu soal hal itu.
Setelah TNI tiba dan menggedor gerbang asrama mahasiswa Papua, datang lagi secara bertahap pihak Satpol PP dan organisasi masyarakat. Dalam kondisi terkepung, mereka harus menahan lapar, begitu juga dengan belasan kawan-kawan lainnya.
Hingga akhirnya datanglah 27 mahasiswa Papua lainnya, yang hendak membawakan makanan untuk mereka pada Sabtu (17/8/2019) siang sekitar pukul 12.00 WIB.
Dorli dan 41 mahasiswa Papua lainnya bertahan hingga pukul 15.00 WIB, sebelum akhirnya mendapat serangan gas air mata dan mendekam di Mapolrestabes Surabaya.
Dikarenakan tidak adanya respon pemerintah atas tindakan rasis yang dialami oleh mahasiswa Papua yang ada di Kota Malang dan Surabaya, akhirnya demonstrasi pecah di Manokwari, Papua Barat (19/08/2019). Ribuan masyarakat Papua yang berada di Manokwari meluapkan emosinya dengan menutup jalan hingga melakukan pembakaran gedung DPRD provinsi.
Kemarahan masyarakat yang ada di Manokwari menjalar hingga Jayapura, sorong dan beberapa daerah lain di Papua. Masyarakat Jayapura yang marah menyerang bandara Domine Eduard Osok menjadi sasaran massa, mereka melempari fasilitas yang ada di bandara tersebut, Senin (19/8/2019).
Penangkapan dan Penahanan 7 Aktivis Papua
Tujuh Tapol Papua Bucthar Cs ditangkap di Kota Jayapura pada waktu dan tempat yang berbeda-beda, mereka ditangkap oleh Polisi dibantu TNI dengan tuduhan bertanggung jawab atas konflik pasca aksi protes rasisme di berbagai kabupaten kota di Provinsi Papua dan Papua Barat seperti Kota Manokwari dan Sorong pada tanggal 19 Agustus 2019, Sorong Selatan pada 20 Agustus 2019, Deyai 28 Agustus 2019, Fakfak pada 20-21 Agustus 2019, Timika pada 21 Agustus 2019, Jayapura pada 29 Agustus dan 23 September 2019, Wamena pada 23 September 2019.
Ferry ditangkap di Bandara Udara Sentani Kabupaten Jayapura pada tanggal 06 September saat ia hendak mau ke kampung asalnya di Kabupaten Yalimo. Polisi kemudian membawanya ke Mako Brimob Polda Papua, memeriksanya lalu memindahkannya ke Rutan Polda untuk menjalani penahanan. Ia diperiksa dan ditahan dengan tuduhan melakukan kejahatan keamanan negara/MAKAR, dalam bentuk sebagai otak lapangan yang memimpin protes demonstrasi rasisme di Kota Jayapura yang berujung konflik pada tanggal 29 Agustus 2019.
Alex ditangkap di Asrma Yahokimo di Perumnas Tiga Wamena Kota Jayapura pada tanggal 06 September 2019. Alex ditangkap setelah polisi terlebih dahulu telah menangkap Ferry. Polisi kemudian membawanya ke Mako Brimob untuk menjalani pemeriksaan lalu polisi memindahkannya ke rutan polda Papua untuk menjalani penahanan bersama Ferry. ia diperiksa dan ditahan sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kejatahan keamanan negara/ MAKAR, dalam bentuk sebagai otak lapangan yang memimpin aksi demonstrasi protes rasisme di Kota Jayapura yang berujung konflik.
Bucthar ditangkap di kebunnya di perumas tiga waena, Kota Jayapura pada 09 September 2019 pada sore hari, saat ditangkap Bucthar sedang membersihkan kebunnya. Polisi kemudian membawanya ke Mako Brimob menahannya semalam, lalu keesokan harinya ia dipindahkan ke Rutan Polda Papua. Polisi kemudian memeriksanya sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kejahatan keamanan negara/MAKAR, dalam bentuk sebagai otak yang mendesain aksi demonstrasi protes rasisme di berbagai Kota di Papua yang berujung konflik.
Steven ditangkap di areal Kampugn Uncen Bawah, Padang Bulan, Kota Jayapura, pada tanggal 11 September 2019. Polisi kemudian membawanya ke Mako Brimob memeriksanya lalu memindahkannya ke Rutan Polda Papua untuk menjalani pemeriksaan Polda Papua lalu memeriksanya sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kejahatan keamanan negara/MAKAR, dalam bentuk turut membantu merancang dan mejalankan aksi demonstrasi protes rasisme yang berujung konflik di Kota Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019.
Hengky ditangkap di Kota Jayapura pada tanggal 11 September 2019. Polisi kemudian menahannya di Polda Papua, lalu memeriksanya sebagai tersangka dengan tuduhan terlibat bersama Alex, Ferry dan Irwanus melakukan kejahatan terhadap keamana negara/MAKAR, yang dilakukan dalam bentuk aksi demostrasi protes rasisme di Kota Jayapura pada tanggal 19 Agustus secara damai dan aksi jilid 2 pada tanggal 29 Agustus 2019 yang berujung ricuh di Kota Jayapura.
Irwanus ditangkap di Kota Jayapura pada tanggal 11 September. Polisi kemudian membawanya ke Mako Brimob untuk diperiksa lalu memindahkannya ke Rutan Polda Papua untuk menjalani penahanan sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kejahatan keamanan negara/MAKAR, dalam bentuk terlibatnya bersama Alex, Hengky dan Ferry melakukan aksi protes demonstrasi rasisme di Kota Jayapura berujung konflik pada tanggal 29 Agustus.
Agus ditangkap di jalan Raya Abepura – Sentani bersama seorang temanya bernama Donny Itlay (Donnya Itlay), tepatnya di depan komples Hawai Sentani, Kabupaten Jayapura pada tanggal 17 Agustus sore hari, ia ditangkap oleh polisi dalam sweping yang dilakukan oleh polisi dengan tujuan menangkapnya. Polisi kemudian membawanya ke Mako Brimob Polda Papua lalu kemudian memeriksanya sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kejahatan keamanan negara/MAKAR, dalam bentuk sebagai otak intektuan yang mendesain aksi demonstrasi protes rasisme di berbagai Kota di Papua yang berujung konflik.
Melihat hal itu, kami DPC GMNI Balikpapan mengecam tindakan pemerintah yang dengan semena-mena melakukan penangkapan terhadap aktivis-aktivis Papua. Kami menuntut pemerintah untuk segera membebaskan seluruh aktivis Papua yang merespon tindakan rasial di Surabaya dan Malang. Penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah hari ini adalah sebuah pembungkaman terhadap rakyat di Papua, dan hal ini sangat bertentangan dengan konstitusi.
Sudah jelas bahwa mengemukakan pendapat di muka umum dilindungi oleh konstitusi. Ketentuan itu termaktub dalam Undang Undang Dasar Pasal 28 Tahun 1945 yang mejelaskan tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Selain daripada itu, kami juga menuntut pemerintahan jokowi – Ma’ruf Amin untuk segera membuat ruang-ruang, untuk berkomunikasi langsung dengan seluruh masyarakat Papua. Kami menganggap langkah yang diambil oleh Jokowi sangat gagal dalam menyelesaikan persoalan yang ada di Papua. Pendekatan militer dan penangkapan aktivis Papua tidak akan menyelesaikan apa-apa. Malah hanya akan menambah kekecewaan Papua terhadap pemerintahan hari ini.(zain).