Oleh: Muhammad Anwarul ’Izzat
(Wasekjen PB PMII Bidang Kaderisasi Nasional)
Sudah terlalu lama sistem kesehatan Indonesia terjebak dalam dominasi organisasi profesi yang seolah tak tersentuh. Dalam praktiknya, kewajiban akan rekomendasi dari organisasi seperti IDI, IBI, PPNI, maupun IAI kerap menjadi tembok birokrasi yang justru menghambat tenaga kesehatan untuk mengabdi, terutama di daerah terpencil. Hadirnya Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menjadi titik balik: negara mengambil kembali tanggung jawab penuh dalam mengatur sistem kesehatan nasional. Ini adalah langkah progresif yang patut diapresiasi dan didukung.
Organisasi Profesi: Dari Mitra Menuju Oligarki?
Organisasi profesi semestinya menjadi mitra strategis dalam pembangunan kesehatan. Namun dalam kenyataannya, mereka justru menjelma menjadi entitas eksklusif yang memonopoli proses sertifikasi dan izin praktik. Iuran anggota yang tinggi, penggunaan dana yang tak selalu transparan, serta kontrol berlebihan terhadap tenaga kesehatan—terutama yang berani bersikap kritis—telah menjauhkan organisasi profesi dari ruh pengabdiannya.
Ketika pemerintah berupaya mereformasi sistem agar lebih adil dan terbuka, sebagian organisasi profesi justru menunjukkan resistensi, bahkan membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya: apakah perlawanan ini murni demi menjaga mutu profesi, atau justru demi mempertahankan kuasa?
UU Kesehatan: Progresif, Efisien, dan Berpihak pada Rakyat
UU No. 17 Tahun 2023 menawarkan pembaruan menyeluruh: penyederhanaan perizinan tanpa menurunkan standar kompetensi, distribusi tenaga kesehatan yang lebih merata, hingga penguatan kontrol negara terhadap aspek etik dan tata kelola profesi. Lebih dari itu, undang-undang ini mendorong kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan nasional.
Apakah ini bukan bentuk nyata dari transformasi menuju Indonesia Emas 2045? Bukankah kehadiran negara dalam menjamin hak rakyat untuk sehat harus lebih diutamakan daripada menjaga eksklusivitas kelompok?
Kacamata PMII: Negara Harus Berdaulat atas Sistem Kesehatan
Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berlatar belakang kesehatan masyarakat, saya memandang bahwa organisasi profesi tetap memiliki peran penting. Namun peran itu tidak boleh berkembang menjadi kekuasaan tunggal yang menentukan nasib ribuan tenaga kesehatan. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok mana pun, meski itu berlindung di balik nama “profesi”.
Hari ini, kita membutuhkan sistem kesehatan yang lebih terbuka, objektif, dan akuntabel. Peran organisasi profesi seharusnya fokus pada fungsi edukasi, advokasi, dan pemberdayaan, bukan administratif. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, perlu segera menyusun regulasi turunan yang kuat dan transparan, serta membuka ruang partisipasi langsung bagi tenaga kesehatan tanpa harus selalu melalui organisasi profesi.
Penutup: Negara Hadir untuk Semua
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 adalah manifestasi keberanian politik negara untuk melawan ketimpangan struktural yang selama ini membelenggu sistem kesehatan. Organisasi profesi tetap boleh bersuara, namun tidak bisa menjadi “kerajaan kecil” dalam tubuh negara.
Negara hadir bukan untuk menggantikan profesi, melainkan untuk memastikan seluruh rakyat mendapatkan layanan kesehatan yang layak, dan seluruh tenaga kesehatan dapat mengabdi tanpa hambatan.