
Faktanusa.com, Sangatta – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) terus memperkuat sektor pertanian sebagai strategi utama mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan daerah. Langkah ini dilakukan melalui peningkatan produksi padi agar Kutim tidak lagi bergantung pada pasokan beras dari luar daerah.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Kutim, Dyah Ratnaningrum, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat dua strategi utama yang sedang dijalankan pemerintah. Pertama, ekstensifikasi atau perluasan lahan sawah sesuai program prioritas Bupati Kutim. Kedua, intensifikasi, yaitu meningkatkan indeks pertanaman dari dua kali menjadi tiga kali tanam dalam setahun.
“Jika kita hanya mengandalkan pola dua kali tanam, kebutuhan pangan akan sulit terpenuhi. Namun, dengan tiga kali tanam dalam satu tahun, hanya dengan 7.500 hektar sawah kita sudah dapat mencapai swasembada beras. Saat ini, luas sawah yang tersedia baru sekitar 2.638 hektar, masih jauh dari target ideal,” jelas Dyah. Jum’at (21/11/2025).
Meski memiliki potensi lahan tani, produksi padi lokal hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan sekitar 400.000 penduduk Kutim. Kondisi tersebut menyebabkan pasokan beras masih harus didatangkan d

ari daerah lain.
Menurut Dyah, program intensifikasi dinilai lebih realistis dibandingkan pembukaan lahan baru, yang kerap terkendala perizinan, masalah sosial, dan keterbatasan alokasi lahan produktif. “Intensifikasi bisa langsung meningkatkan produksi dari lahan yang sudah ada. Tantangannya adalah disiplin petani untuk mengikuti pola tanam tiga kali setahun,” ujarnya.
Namun, penerapan pola tanam tersebut tidak sepenuhnya mudah. Dyah menjelaskan bahwa beberapa wilayah memiliki kearifan lokal yang masih kuat, seperti di Desa Miau, di mana masyarakat tetap menjalankan tradisi menanam padi ladang satu kali setahun dan tidak dapat langsung diubah.
Untuk menyiasati hambatan tersebut, Pemkab Kutim menggerakkan enam brigade pangan, yang berperan sebagai tenaga tambahan untuk membantu mengelola lahan saat kelompok tani tidak mampu melakukan penanaman ketiga akibat keterbatasan tenaga atau waktu.
“Jika ada kelompok tani yang tetap memilih dua kali tanam, brigade pangan bisa masuk pada siklus ketiga. Skemanya dapat berupa kerja sama bagi hasil atau perjanjian sesuai kesepakatan pemilik lahan,” terangnya.
Saat ini sebagian besar petani tengah memasuki panen periode kedua. Pemerintah berharap mereka kembali turun ke sawah pada Oktober agar panen ketiga bisa dilakukan pada akhir Desember mendatang.
Pemerintah juga menilai bahwa modernisasi alat pertanian menjadi faktor penting dalam pencapaian target intensifikasi. Penggunaan mesin seperti traktor roda empat terbukti memangkas waktu pengolahan lahan secara signifikan. “Dengan traktor roda empat, satu hektar sawah bisa selesai dalam 3–4 jam. Kalau pakai hand traktor, bisa 4 hari. Efisiensi waktu ini sangat penting untuk menambah siklus tanam,” jelas Dyah.
Modernisasi alat juga menjadi jawaban atas problem regenerasi petani, di mana mayoritas petani aktif berusia di atas 45 tahun dan mulai kesulitan bekerja dengan cara manual. Dengan bantuan mesin, mereka tetap mampu produktif tanpa harus bekerja berat.
“Tujuan kami memadukan teknologi modern dengan tradisi bertani. Kearifan lokal tetap dijaga, tetapi produktivitas ditingkatkan dengan dukungan alat dan tenaga khusus,” tegasnya.
Dengan strategi ekstensifikasi, intensifikasi, dan modernisasi, Pemkab Kutim optimistis dalam beberapa tahun ke depan daerah ini dapat mencapai kemandirian pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
“Kami ingin Kutim berdiri di atas kaki sendiri. Swasembada pangan bukan hanya soal beras, tetapi menyangkut martabat dan kedaulatan daerah,” pungkas Dyah. (Adv/Shin/**)
![]()


