Koordinasi Lemah, Program Tumpang Tindih: Masalah Laten Pembangunan di Kaltim

Loading

Faktanusa.com, Samarinda – Di tengah ambisi besar membangun Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai kawasan penyangga Ibu Kota Negara (IKN), muncul satu persoalan klasik yang tak kunjung terselesaikan: tumpang tindih program pembangunan dan pemborosan anggaran. Permasalahan ini tidak lahir dalam semalam. Ia bertahan bertahun-tahun, mengakar dalam budaya birokrasi yang masih berjalan sendiri-sendiri di setiap tingkatan pemerintahan.

Syarifatul Sya’diah, anggota Komisi III DPRD Provinsi Kaltim, dengan lantang menyuarakan kegelisahan ini. Politisi perempuan asal daerah pemilihan Berau, Kutai Timur, dan Bontang itu menilai lemahnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjadi akar dari tidak efektifnya perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.

“Selama ini, program provinsi terkesan jalan sendiri, begitu juga dengan kabupaten/kota. Padahal ini seharusnya bisa disinergikan sejak awal perencanaan,” ujarnya dalam sebuah pernyataan, Senin, 26 Mei 2025.

Masalah ini sesungguhnya bermula dari struktur komunikasi dan perencanaan yang tidak terjalin secara sistematis. Baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota cenderung menyusun rencana kerja berdasarkan prioritas masing-masing, tanpa koordinasi lintas wilayah yang memadai.

Akibatnya? Program serupa dijalankan di dua tingkatan pemerintahan secara paralel, menyedot anggaran yang seharusnya bisa dihemat atau dialihkan ke sektor lain yang lebih mendesak. Bukan hanya pemborosan, kondisi ini juga menghambat terciptanya pembangunan yang merata dan terfokus.

Syarifatul mengusulkan solusi konkret: menjadikan rapat koordinasi antara Gubernur, Sekretaris Daerah, Bappeda, dan DPRD sebagai agenda tetap yang digelar secara berkala. Menurutnya, forum seperti ini penting untuk menyelaraskan rencana pembangunan sejak tahap awal, bukan setelah program berjalan.

“Rakor berkala akan sangat membantu untuk memastikan bahwa program yang ada ini bisa sinkron dengan kebutuhan daerah,” tegasnya.

Kaltim, meski dikenal sebagai provinsi dengan kekayaan sumber daya alam, juga tidak luput dari tantangan fiskal. Proyeksi penurunan anggaran dari Rp21 triliun menjadi Rp18 triliun pada tahun anggaran mendatang menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah.

Bagi Syarifatul, ini semakin memperkuat urgensi untuk merombak cara kerja pemerintahan. Tidak ada ruang untuk anggaran mubazir, dan tidak ada waktu untuk program yang hanya bersifat formalitas.

“Dengan fiskal yang menurun, penyelarasan program menjadi mutlak agar anggaran yang terbatas bisa dimaksimalkan,” ujarnya.

Selain mendorong efisiensi lintas pemerintahan, Syarifatul juga menyoroti pentingnya melibatkan sektor swasta dalam mendukung program-program strategis Pemprov Kaltim, seperti “gratis pol” dan “jos pol.” Kedua program ini dianggap sebagai simbol layanan publik yang pro-rakyat, namun masih membutuhkan dukungan konkret dari berbagai pihak agar dapat diimplementasikan secara nyata dan berkelanjutan.

“Perlu kolaborasi dari semua pihak, termasuk perusahaan-perusahaan besar di Kaltim, agar pelaksanaan ‘gratis pol’ dan ‘jos pol’ ini bisa berjalan optimal. Jangan sampai hanya jadi program unggulan di atas kertas,” katanya dengan nada serius.

Isu tumpang tindih program bukan hanya soal pemborosan dana, tapi juga mencerminkan masih lemahnya integrasi kebijakan antar level pemerintahan. Kaltim kini berdiri di persimpangan penting: antara mempertahankan pola lama yang tidak efisien, atau berani bertransformasi menuju tata kelola pembangunan yang kolaboratif dan terencana.

Jika rakor lintas instansi benar-benar dijalankan secara rutin, dan sektor swasta dilibatkan sebagai mitra aktif pembangunan, maka efisiensi anggaran bukan hanya impian. Ia bisa menjadi kenyataan yang mempercepat pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Kalimantan Timur.

Dan harapan itu, setidaknya, sudah mulai disuarakan dari gedung DPRD. (Adv/**)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top