DPRD Kaltim Soroti Pelanggaran K3 dan Ketimpangan CSR di PT Lana Harita

Loading

Faktanusa.com, Samarinda — Kunjungan kerja Komisi IV DPRD Kalimantan Timur ke kawasan industri tambang pada Kamis (19/6/2025) mengungkap sejumlah persoalan serius yang menyangkut keselamatan kerja, transparansi keuangan perusahaan, serta ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan industri tambang di daerah.

Perhatian utama Komisi IV tertuju pada PT Lana Harita, sebuah perusahaan yang bergerak di sektor pengelolaan tambang dan beroperasi di wilayah Kalimantan Timur. Dalam kunjungan tersebut, anggota dewan menemukan bahwa perusahaan tersebut belum membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), padahal jumlah tenaga kerjanya telah melampaui 100 orang—batas minimal yang mewajibkan pembentukan P2K3 sesuai dengan regulasi nasional.

“Ini harus segera ditindaklanjuti. Keselamatan kerja bukan sesuatu yang bisa ditawar,” ujar Agus Aras, anggota Komisi IV DPRD Kaltim, menegaskan pentingnya perlindungan bagi para pekerja.

Pelanggaran ini menambah daftar panjang kekhawatiran terhadap praktik ketenagakerjaan di sektor tambang, yang selama ini dikenal rawan kecelakaan dan rentan terhadap eksploitasi tenaga kerja, baik lokal maupun asing.

Masalah lain yang mengemuka dalam inspeksi tersebut adalah soal dana kompensasi tenaga kerja asing. Menurut Agus, kompensasi yang selama ini disetorkan perusahaan ke pemerintah pusat seharusnya juga dialokasikan untuk pemerintah daerah. Pasalnya, dampak keberadaan tenaga kerja asing sangat dirasakan oleh masyarakat lokal, terutama dalam konteks berkurangnya peluang kerja.

“Ini menjadi penting, karena daerah yang menanggung beban sosial akibat berkurangnya kesempatan kerja juga berhak menerima kompensasi langsung,” ujar Agus.

Isu ini menjadi relevan mengingat Kalimantan Timur merupakan salah satu wilayah dengan aktivitas tambang yang tinggi dan menjadi magnet bagi investasi asing, termasuk dalam perekrutan tenaga kerja luar negeri.

Temuan lain yang tak kalah penting adalah ketidaksesuaian antara dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan realisasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dalam dokumen AMDAL, PT Lana Harita tercatat mengalokasikan anggaran hampir Rp7 miliar untuk program CSR. Namun, realisasi anggaran yang tercantum dalam laporan tahunan perusahaan hanya sekitar Rp3 miliar sejak tahun 2023.

“Belum ada penjelasan resmi dari pihak perusahaan soal ketidaksesuaian angka tersebut,” jelas Agus Aras.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi dan komitmen perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasi. Dana CSR seharusnya menjadi instrumen penting dalam memperkecil dampak negatif industri, khususnya bagi masyarakat terdampak langsung.

Komisi IV juga melakukan peninjauan ke PT Kaltim Ferro Industri, perusahaan lain yang masih berada di kawasan industri nikel yang sama. Di perusahaan ini, dewan mencatat jumlah tenaga kerja asing masih cukup besar, meski menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan jumlah ini berkaitan dengan lesunya pasar nikel global dan terbatasnya pasokan bahan baku, yang berdampak langsung pada pengurangan tenaga kerja lokal.

Tak hanya itu, aspek keselamatan kerja juga kembali disorot. Komisi mencatat bahwa pernah terjadi ledakan di area operasional perusahaan, meskipun pihak perusahaan belum memberikan laporan rinci kepada publik.

“Aspek keamanan kerja harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai kecelakaan kerja menjadi hal yang dianggap biasa,” imbuh Agus.

Bagi Komisi IV DPRD Kaltim, temuan-temuan ini merupakan cermin dari masih lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi di lapangan. Mereka meminta agar pemerintah daerah lebih aktif dan tegas dalam mengawal operasional industri, terutama dalam memastikan bahwa keberadaan industri benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.

“Pemerintah harus hadir dan aktif mengawal peran industri dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal,” tegas Agus.

Secara keseluruhan, kunjungan ini menegaskan bahwa di balik gemerlap investasi dan kontribusi ekonomi sektor tambang, masih terdapat pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan—mulai dari perlindungan buruh, alokasi dana sosial yang adil, hingga peran aktif pemerintah dalam memastikan keadilan bagi masyarakat lokal. (ADV/**)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top