DPRD Kaltim Evaluasi Kesiapan Program Kuliah Gratis, UKT Mahasiswa SNBP Akan Dikembalikan

Loading

Faktanusa.com, Samarinda – Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang sejumlah pemangku kepentingan dari kalangan perguruan tinggi untuk duduk bersama dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas isu yang kian hangat: pelaksanaan program kuliah gratis atau yang dikenal sebagai “Gratis Pol” untuk mahasiswa baru tahun akademik 2025/2026 pada Selasa (10/6/2025).

Di tengah meningkatnya tuntutan akses pendidikan yang merata, program kuliah gratis dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menjadi harapan besar bagi ribuan calon mahasiswa. Namun, seperti banyak program ambisius lainnya, pelaksanaan “Gratis Pol” tidak lepas dari tantangan teknis dan prinsipil yang perlu dipikirkan secara matang.

Sekretaris Komisi IV, Darlis Pattalongi, yang memimpin langsung pertemuan tersebut, menyampaikan keprihatinannya akan satu hal krusial: bagaimana memastikan bahwa bantuan dana dari pemerintah tidak sampai mereduksi kebebasan akademik dan kemandirian kampus.

“Kami ingin program ini berjalan baik tanpa membuat kampus kehilangan kemandiriannya. Dana dari pemerintah jangan sampai membuat mereka takut bersuara atau mengkritik kebijakan yang tidak sesuai,” ujar Darlis tegas.

Pernyataan ini muncul sebagai respons atas kekhawatiran bahwa intervensi pemerintah dalam pembiayaan pendidikan tinggi bisa berdampak pada posisi tawar perguruan tinggi di ruang publik maupun akademik.

Isu yang paling menyita perhatian dalam forum itu adalah nasib mahasiswa jalur undangan nasional (SNBP) yang telah lebih dulu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), padahal mereka termasuk penerima manfaat dari program “Gratis Pol”.

Beberapa mahasiswa dan orang tua mempertanyakan kejelasan nasib dana yang telah mereka setorkan. Darlis menjelaskan bahwa DPRD dan Pemprov telah merancang mekanisme pengembalian UKT tersebut, namun menunggu proses penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah daerah dan pihak perguruan tinggi.

“Pengembalian UKT akan dilakukan usai penandatanganan PKS, yang ditargetkan selesai Agustus. Paling lambat September, dananya sudah kembali ke mahasiswa,” jelas Darlis.

Kebijakan ini diharapkan memberi kepastian hukum dan keadilan bagi mahasiswa yang masuk sebelum peluncuran resmi program, agar tidak merasa dirugikan secara finansial.

Selain soal UKT, isu lain yang tak kalah penting dibahas dalam RDP adalah kebijakan batas usia bagi penerima beasiswa jenjang doktoral (S3), khususnya bagi kalangan tenaga pendidik.

Saat ini, batas maksimal usia penerima beasiswa adalah 40 tahun. Namun, Komisi IV mengusulkan agar batas tersebut dinaikkan menjadi 45 tahun, mengingat banyak guru dan dosen berusia di atas 40 tahun yang masih memiliki semangat tinggi untuk melanjutkan studi.

“Kelonggaran usia ini khusus untuk beasiswa S3, karena kami melihat banyak tenaga pengajar di atas 40 tahun yang tetap bersemangat menimba ilmu,” kata Darlis.

Usulan ini menegaskan pentingnya membuka ruang bagi pengembangan kapasitas tenaga pengajar di Kalimantan Timur, tanpa dibatasi oleh variabel usia yang kerap dianggap terlalu kaku.

Dalam penutup pernyataannya, Darlis mengingatkan bahwa meskipun dana UKT belum cair, bukan berarti pihak perguruan tinggi boleh menurunkan kualitas pelayanan terhadap mahasiswa.

“Perguruan tinggi harus tetap profesional. Jangan jadikan keterlambatan pencairan dana sebagai alasan menurunnya kualitas layanan. Ini bukan proyek biasa, ini soal masa depan pendidikan,” ujarnya dengan nada serius.

RDP hari itu bukan sekadar forum koordinasi, tetapi refleksi atas besarnya harapan masyarakat terhadap akses pendidikan yang adil dan berkualitas. DPRD menegaskan komitmennya untuk terus mengawal pelaksanaan program agar berjalan sesuai prinsip keadilan, transparansi, dan tetap menghargai marwah dunia akademik.

Program “Gratis Pol” bisa menjadi tonggak sejarah dalam pembangunan sumber daya manusia di Kalimantan Timur, jika dijalankan dengan hati-hati dan menyeluruh. Namun tantangan teknis, administratif, hingga prinsipil seperti independensi perguruan tinggi dan keadilan bagi semua kelompok mahasiswa tetap perlu dikawal.

Ke depan, transparansi dan kolaborasi antarlembaga akan menjadi kunci. Sebab, pendidikan tinggi bukan hanya tentang angka penerimaan, tetapi tentang masa depan yang dijalani dengan bermartabat. (ADV/**)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top