Faktanusa.com, Balikpapan – Budaya ini sudah lama menjamur bahkan ketika kita masih bayi, dan ketika kita menjadi tua, budaya ini akan selalu ada, dan tidak bisa di hentikan.
Di kalangan elit politik, pejabat kota, pejabat daerah, bahkan turun ke para aparat dan penegak hukum yang berasaskan tidak enak dan kekeluargaan.
Pokok permasalahanya selalu sama, ingin cepat melakukan pengurusan administrasi sehingga jalur korupsi pun di lalui, tentu saja hal ini membuat insting kepuasan mereka terus ditingkatkan, bukan mengejar prestasi tapi mengejar sebuah kolusi,
Korupsi, Kolusi, Nepotisme, merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi.
Korupsi bukan masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak era 1950an. Bahkan berbagai kalangan menilai suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan menemui kegagalan.
Korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,
sehingga korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa ( extra ordinary measures)
Korupsi bukan hanya sekedar merugikan negara, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan sosial dan hak-hak ekonomi rakyat. Pada dasarnya, koruptor adalah perampas uang rakyat; fakta bahwa korupsi sudah sedemikian meluas tidak saja dilihat dari persepsi masyarakat Indonesia tetapi masyarakat internasional.
Pandangan masyarakat internasional dikemukakan oleh lembaga, organisasi yang secara khusus meneliti dan memantau praktik-praktik korupsi diberbagai negara. Hasilnya dapat dilihat bahwa Indonesia menempati peringkat paling parah dalam kelompok negara yang memiliki tingkat korupsi sangat tinggi.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi merupakan White Collar Crime, dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai invisible crime memerlukan pendekatan sistem terhadap upaya pemberantasannya.
Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Harapan dapat memberantas korupsi secara hukum adalah mengandalkan diberlakukannya secara konsisten Undang-undang tentang pemberantasan korupsi didampingi ketentuan terkait yang bersifat preventif.
Fokus pemberantasan korupsi juga harus menempatkan kerugian negara sebagai suatu bentuk pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi secara luas.
Pada awalnya, tindak pidana korupsi hanya dianggap sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara. Namun demikian, seiring dengan semakin maraknya praktik korupsi tidak saja dianggap sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya secara luar biasa.
Terhadap kerugian keuangan negara ini, UU korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 Tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (aset recovery).
Sehingga penanganan perkara korupsi dimasa mendatang,tidak lagi berorientasi pada kerugian negara dan pemberian hukuman badan pada pelaku semata, tetapi lebih diorientasikan kepada pengembalian aset negara.
Besarnya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh korupsi sangat tidak sebanding besar pengembalian keuangan negara akibat korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara tersebut harus dilakukan dengan cara apapun yang dapat dibenarkan menurut hukum agar dapat diupayakan seoptimal mungkin. Prinsipnya, hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat.
Kelemahan dari segi regulasi dan sumber daya manusia (SDM) untuk menginventarisasi, mencari alat bukti dan menyita aset-aset yang banyak dilarikan oleh para koruptor ke luar negeri masih menjadi salah satu hambatan terbesar dari pemerintah Indonesia. Dalam hal pembuktian di dalam proses peradilan seringkali pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk membuktikan unsur yang didakwakan. Selain itu sering juga pemerintah mengalami kesulitan dalam persidangan karena berbagai masalah prosedural seperti kurang lengkapnya alat bukti, terdakwa sakit, hilang atau meninggal dunia.
Akhir dari cerita ini tidak bisa diterka seperti gejala virus yang sering meningkat, banyak korban yang terkena dan banyak masalah yang muncul, dan seakan-akan ini menjadi sebuah seni yang mempunyai sebuah teori dan praktik keahlian dalam menjalankan aksinya.
Muncul sebuah pertanyaan ? “Sebagai generasi baru atau generasi yang akan melanjutkan roda birokrasi ini, apakah harus membiarkan atau harus dilanjutkan?
Sebuah Paradoks muncul membuat sebuah dilema dalam menentukan sikap apa yang harus diambil.
Skenario nya kira-kira seperti ini, “ Si A ingin melakukan sebuah kegiatan proyek milik negara, si B menwarkan sebuah pengamanan khusus dalam proyek itu. Tentu saja hal ini sangat memudahkan si A untuk melakukan kegiatan tersebut, lalu si B mulai membuka sebuah penawaran nominal untuk mendapatkan sebuah keuntungan, sehingga terjadi kerja sama atau salam tempel ini.
Ilustrasi di atas adalah sebuah gambaran kecil yang terjadi di Negeri tercinta ini, bukan sebuah gambaran besar karena terlalu banyak perkara besar yang akan ditutupi hingga di hilangkan dan menjadi sebuah misteri.
Terkadang lucu ketika membaca koran atau melihatnya di televisi, seketika semua menjadi komentator yang membahas budaya ini, tetapi hanya sebatas komentator dan bukan sebuah solusi yang mampu menghentikan roda jahat ini.
Peran oligarki sangat penting dalam menyusun strategi ini, bahkan sampai melemahkan sebuah instansi yang seharusnya menjadi pahlawan dan sekarang menjadi korban.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dulunya adalah sebuah instansi yang menjadi pahlawan bagi korban-korban yang terkena imbas dari seorang oknum dan menjadi tangan kanan para oligarki ini,
KPK menjadi populer di zaman ia berdiri dan tidak ada yang berani melakukan tindakan korupsi, para oligarki pun akhirnya melakukan sebuah pergerakan yang perlahan tidak tercium dan teridentifikasi oleh instansi ini.
Para oligarki membuat sebuah strategi agar dapat membuat instansi ini bergerak lebih lambat dan bisa diajak kompromi, dan tentu saja strategi ini menjadi sebuah persoalan baru dan menjadi pembicaraan yang tidak habis untuk di diskusikan sehingga membuat polemik yang menjadi sorotan publik.
Hal ini membuat publik bertanya-tanya, mengapa sebuah instansi yang menjadi tameng ini di lemahkan kekuatannya, apakah ini akhir dari cerita instansi ini, ataukah berjalan tetapi sudah tidak mempunyai kepercayaan diri lagi.
Dan akhirnya sebuah pertanyaan pun terjawab, Instansi ini tetap berdiri dengan penuh percaya diri, tetapi hanya saja dalam kondisi yang sangat pedih.
Seperti dalam bermain catur, beberapa pion akan direlakan untuk mendapatkan sebuah kemenangan bahakan menteri-menteri pun menjadi sebuah jalan untuk dikorbankan sehingga mendapatkan keuntungan. Ini adalah sebuah ilustrasi dalam instansi ini, rela mengorbankan sebuah integritas untuk mendapatkan popularitas.
Akan kah masalah ini akan terhenti atau menjadi sebuah misteri yang tidak akan bisa diatasi. (**)
Narasumber : M. Asyharuddin
Dosen Hukum Universitas Mulia Kota Balikpapan
![]()

