“Agama adalah keluh kesah dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah candu bagi masyarakat.” (Karl Heinrich Marx).
Kutipan tersebut dilipat dan digunting menjadi “Agama itu Candu”. Kalimat ini kemudian dianggap sebagai dalil Qath’i Komunisme dan di Indonesia dijadikan alat propaganda untuk memperhadapkan antara Komunisme dengan Agamaisme.
Kutipan kata-kata Karl Marx itu asalnya berbahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, selanjutnya diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. Dari sini sebenarnya kita bisa curiga kemungkinan adanya distorsi makna terjemahan yang bisa saja melenceng jauh dari maksud pengarang, sampai akhrinya direduksi lagi menjadi “Agama itu candu”.
Kita kembali ke terjemahan “Agama adalah keluh kesah dari makhluk yang tertindas”. Agama menjadi tempat “tempat curhat” bagi orang-orang yang terzhalimi. Agama adalah tempat masyarakat yang tertindas untuk menghibur diri agar bisa melupakan kondisi buruk yang dialaminya.
Selanjutnya kita melihat bahwa Karl Marx menyinggung agama, bukan Tuhan! Kalaupun Karl Marx tidak beragama, belum tentu mengingkari adanya Tuhan. Ini disebut Agnostik bukan Ateis. Agnostik percaya adanya Tuhan tapi tidak melalui agama. Mungkin bahasa sederhananya “Beriman tapi tidak beragama”.
Sebagai tempat Curhat dan menghibur diri bagi kaum yang terzhalimi, Agama harusnya bisa memberikan resep ampuh untuk memecahkan masalah yang dialami bagi penganutnya.
Sebagai “Hati bagi dunia yang tak punya hati”, Agama harusnya bisa mengangkat harkat bagi mereka yang terzhalimi, karena semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan.
Sebagai “Jiwa bagi kondisi yang tak punya jiwa”. Agama seyogyanya memberikan semangat kepada penganutnya untuk bisa menjalani kehidupan yang layak serta berkecukupan di dunia, supaya mereka bisa tenang dalam beribadah, bukan malah menyuntik pikiran dan kesadaran para pemeluk agama dengan harapan hidup yang layak di Akhirat pada saat yang sama melakukan pembiaran terhadap penderitaan yang dialami di dunia.
Akhirnya, Agama harusnya tidak hanya dijadikan alat oleh Para Pemuka Agama untuk bermesraan dengan Penguasa. Atau yang sedang mencari kekuasaan menjadikan agama sebagai alat mendekati Penguasa. Atau yang sedang berkuasa menjadiakan Agama sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Atau yang sedang membenci Penguasa, menjadikan Agama sebagai alat propaganda dan menyebar fitnah untuk merebut kekuasaan.
Sementara itu, mereka yang menjadikan Agama sebagai pelarian, tempat curhat dan hiburan tetap saja tidak bisa keluar dari kondisi buruk yang sedang dialami, seperti orang yang menghisap candu, setelah sensasinya berakhir, maka kembalilah dia ke kehidupan nyata yang sebelumnya sangat ingin ditinggalkannya***
Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
(Iwan Fals, Yang Terlupakan)