Faktanusa.com, Sangatta – Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menempati peringkat ketiga kasus pernikahan anak di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berdasarkan data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) Tahun 2024. Dalam data tersebut tercatat sebanyak 47 kasus pernikahan dini, yang melibatkan 12 anak laki-laki dan 35 anak perempuan.

Jumlah ini menempatkan Kutim berada di bawah Kota Balikpapan yang menempati peringkat tertinggi dengan 52 kasus, disusul Kota Samarinda sebanyak 48 kasus. Tingginya angka pernikahan anak menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam upaya perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak dasar, khususnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan reproduksi.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kutim, Idham Cholid, mengungkapkan bahwa sepanjang 2024 terdapat 111 permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke pengadilan agama. Namun menurutnya, tidak semua permohonan tersebut disetujui karena proses verifikasi dilakukan melalui komunikasi intensif antara pihak pengadilan dan DPPPA.

“Untuk pernikahan dini itu kita bekerja sama dengan pengadilan agama. Jadi sebelum memutuskan, nanti akan berkomunikasi dengan dinas kami,” jelas Idham kepada wartawan. Jum’at (21/11/2025).

Menurut Idham, DPPPA Kutim terus berupaya menekan angka pernikahan dini melalui serangkaian langkah preventif seperti edukasi, sosialisasi, dan penguatan kapasitas keluarga. Program yang digencarkan meliputi penyuluhan mengenai risiko kesehatan dan psikologis pada pernikahan usia anak, serta kampanye parenting positif.

“Sosialisasi kami fokus pada pemahaman keluarga tentang bahaya pernikahan dini dari sisi kesehatan, psikologi, dan sosial. Kami ingin orang tua benar-benar memahami dampaknya,” ucapnya.

Idham menjelaskan bahwa faktor penyebab pernikahan dini di Kutim beragam, namun dua aspek yang paling sering ditemukan adalah masalah ekonomi dan kehamilan di luar nikah.

“Rata-rata karena ekonomi. Anak tidak sekolah, lalu dinikahkan. Yang kedua karena ‘kecelakaan’, sudah hamil duluan sehingga orang tua mengajukan dispensasi,” paparnya.

Ia menambahkan bahwa stigma sosial juga turut memperburuk situasi, terutama anggapan bahwa menikahkan anak dianggap lebih baik daripada membiarkannya berhenti sekolah tanpa tujuan jelas.

“Ada pandangan di masyarakat bahwa daripada anak tidak sekolah lebih baik menikah, karena nanti bisa membantu ekonomi keluarga,” ujarnya.

Menurut data internal DPPPA, penyebab kasus pernikahan dini di tiap wilayah Kutim menunjukkan pola yang berbeda. Jika di wilayah pedalaman dan perdesaan penyebab terkuat adalah kondisi ekonomi, maka di wilayah kota dan pusat keramaian penyebab utama lebih banyak didorong oleh faktor pergaulan bebas dan kehamilan di luar nikah.

“Faktor ekonomi lebih dominan di daerah, sementara kehamilan di luar nikah banyak terjadi di kawasan perkotaan,” tegasnya.

DPPPA Kutim berkomitmen meningkatkan kolaborasi lintas sektor, mulai dari sekolah, pemerintahan desa, tenaga pendidik, tokoh agama, hingga aparat penegak hukum dalam mencegah pernikahan anak.

Ia menegaskan bahwa pencegahan pernikahan dini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi membutuhkan kesadaran keluarga dan lingkungan sosial.

“Kami ingin memastikan bahwa anak-anak Kutim mendapat masa depan yang layak melalui pendidikan yang baik. Melindungi mereka adalah tanggung jawab bersama,” pungkas Idham.

Dengan upaya bersama dan peningkatan literasi keluarga, DPPPA optimistis dapat menurunkan angka pernikahan anak pada tahun-tahun mendatang. (Adv/Shin/**)

Loading