Faktanusa.com, Sangatta – Ketua Persatuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Ridwan Abdul Razak, mendesak Inspektorat Wilayah (Itwil) Kutim mengambil tindakan lebih tegas terhadap kasus dugaan penyelewengan dana desa di Desa Bumi Etam, Kecamatan Kaubun. Ia menilai langkah Itwil yang hanya memberikan waktu tiga bulan untuk mengembalikan dana yang diselewengkan justru menunjukkan lemahnya penegakan hukum di tingkat desa.

Kasus tersebut mencuat setelah tim audit Itwil Kutim menemukan adanya penggunaan dana desa di luar ketentuan yang semestinya dialokasikan untuk kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Namun sebagai respons awal, Itwil hanya memberikan kesempatan bagi oknum terkait untuk mengembalikan dana tersebut tanpa tindakan hukum lanjutan.

Bagi Ridwan, keputusan itu terlalu lunak dan berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di desa. “Kalau diberi waktu tiga bulan, saya rasa itu kurang tepat. Harusnya ada tindakan tegas dulu, efek jeranya dulu. Kalau hanya diberi waktu, pelaku bisa saja melarikan diri seperti kasus sebelumnya,” tegasnya. Jum’at (21/11/2025).

Menurutnya, pemberian kelonggaran waktu bukan solusi tetapi justru membuka celah bagi pelaku untuk menghilangkan bukti, mengatur strategi pembelaan, atau bahkan kabur. Kondisi serupa disebut pernah terjadi di Kutim ketika oknum perangkat desa melarikan diri setelah mendapat kesempatan serupa.

Ridwan juga mempertanyakan lemahnya mekanisme pengawasan internal khususnya dalam proses pencairan dana desa. Ia menilai ada kejanggalan dalam prosedur pencairan yang ternyata bisa dilakukan tanpa tanda tangan kepala desa sebagai otoritas utama.

“Siapa yang di balik ini? Tidak mungkin dia bisa leluasa menggunakan anggaran itu sendirian. Ada dana yang digunakan, itu dana-dana SILPA. Sungguh miris melihatnya,” tambahnya. Ia menduga ada oknum lain yang turut terlibat sehingga proses pencairan dapat berlangsung tanpa kontrol yang seharusnya ketat.

Menurutnya, kasus tersebut menjadi gambaran nyata lemahnya sistem tata kelola keuangan desa. Padahal, Kutai Timur memiliki 139 desa yang masing-masing mengelola anggaran miliaran rupiah setiap tahunnya. Jika satu kasus dibiarkan tanpa proses hukum yang kuat, bukan tidak mungkin desa-desa lain akan melakukan tindakan serupa.

“Bagaimana masyarakat bisa percaya kalau pelanggaran hukum dibiarkan lunak? Kita bicara uang rakyat. Jadi, penyelesaian seperti ini tidak cukup hanya dengan mengembalikan uang,” tegasnya.

Ridwan menilai langkah Itwil Kutim juga bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini digaungkan pemerintah pusat. Dalam banyak kasus nasional, pelaku penyalahgunaan dana desa sudah berkali-kali dijatuhi hukuman pidana sebagai contoh untuk menekan angka penyalahgunaan anggaran desa. Namun di Kutim, mekanisme penyelesaian justru cenderung kompromistis.

“Ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah untuk memperkuat sistem pencairan dana, memperketat audit, dan memastikan semua pejabat desa memahami risiko hukum dari setiap tindakan penyalahgunaan,” ucapnya menutup.

Publik kini menunggu langkah aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menentukan sikap, termasuk kemungkinan penanganan melalui jalur pidana. Sebab, jika penyelesaian hanya melalui pengembalian uang, keadilan substantif bagi masyarakat desa dinilai sulit tercapai. (Adv/Shin/**)

Loading