Faktanusa.com, Samarinda – Ketegangan mewarnai Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPRD Kalimantan Timur yang digelar di Gedung E DPRD Kaltim, Senin (tanggal disesuaikan). Rapat membahas bencana longsor yang menimpa 22 keluarga di Kilometer 28 Desa Batuah, Kabupaten Kutai Kartanegara.
RDP ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk perwakilan warga terdampak, Dinas ESDM Kaltim, dan manajemen PT Baramutiara Sarana (BSSR) selaku perusahaan tambang di wilayah tersebut. Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Akhmed Reza Pahlevi, memimpin jalannya rapat dan menegaskan pentingnya pencarian solusi konkret.
“Kami melaksanakan RDP untuk menindaklanjuti dampak longsor yang menimbulkan kerugian bagi sekitar 22 keluarga,” ujar Reza.
Dalam rapat, terjadi perbedaan pendapat terkait penyebab longsor. Dinas ESDM dan kajian geologi Universitas Mulawarman menyebut faktor alam sebagai penyebab utama. Namun, warga meyakini aktivitas tambang berperan besar.
Untuk menjembatani pandangan tersebut, Komisi III memutuskan membentuk tim investigasi yang akan melibatkan Dinas ESDM, masyarakat, BPPJN, dan instansi terkait. Hasil kajian ini diharapkan menjadi dasar dalam menentukan langkah selanjutnya, termasuk pertanggungjawaban pihak perusahaan.
Sementara itu, PT BSSR membantah keterlibatan aktivitas tambangnya dalam insiden tersebut. Perwakilan Legal and Licence Compliance, Dani Romadhoni, menyatakan pihaknya telah melakukan kajian internal dan menyebut curah hujan tinggi sebagai penyebab utama.
“Kajian kami dan hasil dari UNMUL menunjukkan bahwa longsor bukan akibat kegiatan tambang, khususnya oleh PT BSSR,” tegas Romadhoni.
Meski begitu, PT BSSR mengaku prihatin dan siap memberikan kontribusi kepada warga terdampak melalui program CSR. Perusahaan juga membuka opsi penyediaan lahan setengah hektare untuk relokasi.
Di sisi lain, Kepala Desa Batuah, Abdul Rasyid, meluapkan kekesalannya terhadap lambatnya respons pemerintah. Ia bahkan mengaku mengeluarkan dana pribadi sebesar Rp30 juta untuk membantu warga menyewa rumah sementara.
“Saya pribadi bantu 22 rumah, masing-masing 2 juta. Tapi malah dianggap tidak peduli,” ujarnya kecewa.
Rasyid juga mengungkap bahwa sebagian besar warga terdampak sebelumnya telah menjual lahannya ke tambang, dan meminta semua pihak berbicara berdasarkan data, bukan emosi.
Warga terdampak, seperti Mudaini, berharap ada solusi permanen. Ia mengusulkan relokasi ke lahan milik pemerintah yang tidak lagi dimanfaatkan, serta mempertanyakan perubahan aliran air yang disebut terjadi pasca aktivitas tambang.
Dinas ESDM melalui Kepala Dinas Bambang Arwanto menjelaskan, jarak lokasi tambang dari titik longsor masih dalam batas aman sesuai regulasi, dan sejauh ini belum ditemukan bukti adanya keterkaitan langsung antara aktivitas tambang dan longsor.
Meski demikian, Dinas ESDM tetap akan melakukan peninjauan lapangan lebih lanjut untuk memastikan semua kemungkinan. (Adv/**)